Senin, Juni 07, 2010

Sejenak mengenai Waktu

Menghargai waktu adalah merupakan kewajiban bagi kita sebagai manusia yang memiliki aturan kehidupan di dunia ini. Semestinya waktu diciptakan untuk mengatur irama kehidupan manusia. Manusia berinteraksi dengan manusia lainnya dalam satu kurun waktu.

Waktu memiliki ukurannya. Waktu memiliki dimensinya. Manusia ada di dalamnya, mengikuti dan selalu ikut di dalamnya.

Sebagai manusia yang beradap dan sebagai makhluk sosial, biasanya kita selalu diaur oleh waktu. Namun terkadang kita juga memiliki otoritas untuk mengatur waktu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita sebagai manusia dan makhluk sosial.

Di kehidupan modern, manusia dituntut untuk menghargai waktu. Ada yang beranggapan bahwa Waktu adalah uang [time is money]. Ada pula ungkapan yang mengatakan bahwa waktu bagaikan mata pedang yang tajam. Apabila kita tidak berhati-hati dalam menggunakannya maka tidaklah mustahil kita akan 'terluka' karenanya.

Pentingnya menghargai dan menggunakan waktu sebaik mungkin dan seefektif mungkin untuk dipergunakan demi kemaslahatan diri pribadi dan masyarakat.

Ada sebagian kecil orang yang beranggapan bahwa biarkanlah waktu berjalan seperti apa adanya. Mereka beranggapan kita tidak perlu sampai menetapkan jadwal yang terlalu akurat dalam menggunakan waktu. Ada suatu kejadian penting terjadi ketika sebuah acara kenegaraan diadakan dengan susunan acara dan waktu yang tersusun rapi yang pada akhirnya terselamatkan dari upaya sabotase karena ada salah seorang protokol acara yang terlambat mengkonfirmasi acara sehingga tamu negara terlambat datang.
Namun ternyata ada hikmah di balik itu semua. Tamu negara dapat terselamatkan dari upaya sabotase karena jadwal yang disusun mundur beberapa menit dari ketentuan yang seharusnya.

Terlepas dari itu semua, tidak ada salahnya kalau mulai saat ini, mulai sedini mungkin kita selalu berusaha untuk menghargai waktu dan selalu mentaati apa yang menjadi komitmen kita terhadap adanya SANG WAKTU.

Kamis, Januari 21, 2010

Menulislah...

Tidak terasa sudah cukup lama saya tidak pernah 'menjenguk' blog saya. Kalau dilihat dari daftar tulisan yang ada ternyata hasilnya menakjubkan.
Selama tahun 2009 ternyata saya tidak pernah satu kali pun mengisi tulisan di blog saya. Blog menjadi terabaikan. Blog yang biasa menjadi curahan jemari untuk menulis.
Dengan blog bisa belajar, dan dengan blog bisa menumpahkan apa saja yang ada dalam alam pikiran menjadi tulisan. Kadang tulisan narsis, kadang tulisan lucu atau apa saja yang bisa ditulis yang menjadi ungkapan hati.

Menulis...
Ingin sebenarnya menjadi penulis yang bisa menghasilkan tulisan yang banyak dibaca orang. Berandai-andi, kalau suatu saat nanti bisa membuat buku yang bermanfaat bagi sesama. Bisa membawa pencerahan bagi orang lain, bisa menghibur hati yang membaca dan semua itu hanya dengan tulisan.

Mudah-mudahan kesempatan dan waktu akan selalu tersedia buat saya untuk sekedar menulis melalui blog saya.

Selasa, Januari 05, 2010

Gus Dur [almarhum] sang guru bangsa

KH. Abdurahman Wahid yang lebih akrab disapa dengan Gus Dur pernah menjadi Presiden RI. Beliau menjadi presiden yang ke-4 setelah runtuhnya rezim orde baru yang telah lama menjadi penguasa di Republik Indonesia. Gus Dur mampu meletakkan pondasi demokrasi bagi negara Indonesia. Banyak kebijakan yang diambil oleh Gus Dur yang banyak dianggap kontoversi namun pada akhirnya mampu menjadikannya sebuah keputusan yang memang ternyata dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat Indonesia.

30 Desember 2009 bangsa Indonesia dikejutkan dengan berita duka yang berkaitan dengan meninggalnya KH. Abdurahman Wahid. Indonesia berduka, rakyat berduka. Sang guru bangsa meninggalkan kita semua, untuk selama-lamanya.

Dimakamkan pada tanggal 31 desember 2009 di tanah kelahirannya Jombang, Jawa Timur. Selamat jalan Guru Bangsa. Terima kasih untuk semua jasamu...

Senin, Desember 01, 2008

Penampilan para penipu dan badut

oleh : Rusdi Mathari


TAHUN lalu di sebuah kota Jawa Timur, sebuah poster yang ditempel pada sebidang papan secara mencolok diletakkan di tepi jalan. Gambarnya seorang petinggi setempat dan di bawahnya tertulis ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Ini iklan yang lazim sebetulnya, andai ditujukan hanya untuk itu: mengucapkan selamat hari raya. Namun siapa yang mengenal sosok dan wajah si pejabat dan apa pentingnya dia mencetak besar-besar gambar wajahnya pada sebuah poster? Kecuali para bawahannya yang menjadi anak buahnya di kota itu dan sebagian pejabat pemerintahnya, warga kota nyaris tidak pernah mengenalnya.

Ini yang kemudian terbukti: Si pejabat daerah itu rupanya berkeinginan mencalonkan diri sebagai wali kota dalam pemilihan kepada daerah di kota itu. Poster tadi karena itu, kemudian tak harus dibaca sebagai sebuah keinginan untuk benar-benar mengucapkan selamat hari raya, melainkan hanya sebuah pamrih. Dia bermaksud untuk dikenal. Untuk populer.Lalu menjelang Pemilu 2009 semakin banyak orang dan banyak kelompok yang kemudian berperilaku seperti pejabat di sebuah kota di Jawa Timur itu. Mereka berlomba-lomba memasang tampang, membayar ratusan juta bahkan ratusan miliar rupiah kepada biro iklan dan lembaga survei, untuk memoles laku agar tampak berpihak kepada rakyat. Senyum kemudian menjadi peraturan dan kata-kata menjadi barang dagangan. "Hidup adalah perbuatan," "Bangkitlah bangsaku," atau kata-kata semacam itu, dan sebagainya, kemudian menjadi terdengar seolah mengemis. Meminta-minta untuk diperhatikan.

Mulai pekan depan, orang-orang dengan kata-kata heroik semacam itu niscaya akan hampir setiap hari muncul di televisi, di media elektronik dan cetak dan sebagainya, seolah teror yang menyelinap ke ruang keluarga. Orang-orang yang sebetulnya tidak pernah dikenal sebelumnya karena memang bukan siapa-siapa— yang berseru tentang kebajikan dan menjanjikan sebuah harapan. Sebagian besar dari mereka adalah wajah lama yang sejak zaman Soeharto berkuasa sudah kenyang dengan fasilitas. Mereka menebar senyum, memeluk anak-anak, merangkul kaum renta, mengelus para duafa sembari menjanjikan perubahan seolah merekalah perubahan itu sendiri.

Tak semua orang tentu paham dengan maksud penampilan para "tokoh" itu. Sebagian yang lain hanya tahu, penampilan orang-orang itu di depan publik telah menghabiskan dana ratusan juta rupiah, atau ratusan miliar rupiah. Biro iklan, lembaga-lembaga survei, dan tentu saja media, menangguk untung tak sedikit karena reklame para "tokoh" itu dan kelak juga ketika musim kampanye pemilu tiba. Namun untuk apa dan untuk siapa mereka tampil di layar televisi dan media, selain untuk kepentingan diri mereka sendiri dan juga kelompoknya?

Tak Ada Makan Siang Gratis
Mungkin adalah benar dalil yang akan disampaikan oleh mereka, bahwa penampilan mereka semata hanya untuk rakyat, demi kemaslahatan umat, agar rakyat sadar akan hak-haknya, karena suara nurani dan sebagainya. Namun semua alibi itu, betapa pun bagus dan dibungkus dengan jujur akan tetapi sangatlah mustahil untuk tidak menghubungkannya dengan tujuan politik populis dan kepentingan mereka. Bukankah memang tak ada makan siang yang gratis? Karena kalaupun benar tujuannya untuk kepentingan orang banyak dan demi nurani, lalu tidakkah akan lebih berguna ongkos pembuatan iklan yang ratusan miliar itu diberikan kepada publik— tak perlu diberikan percuma melainkan cukup dalam bentuk pinjaman— yang antara lain bisa digunakan untuk usaha?Maka pada dasarnya, orang-orang itu sebetulnya adalah para pesohor yang berharap diri mereka dikenal sebagai "tokoh" yang berpihak kepada rakyat, sebagai "penggerak hati nurani," dan "pengayom orang papa." Semakin sering tampil di media, mereka berharap bisa kembali modal terutama di bilik suara, rakyat kelak akan mengingat wajah mereka. Selembar wajah yang telah pernah memberikan senyum dan memeluk kaum tak berdaya di televisi, di media cetak dan di baliho-baliho— meskipun wajah dan perilaku mereka sebetulnya lebih mirip badut, mungkin juga penipu.

Dulu Soeharto dengan jitu menerjemahkan hal itu dan selalu tampil dengan senyum yang teduh tapi juga sembari diam-diam pemerintahannya mengepalkan tangan menindas dan meludahi rakyat. Dan kini di era reformasi, jejak Soeharto terus diikuti dengan bingkai demokrasi. Di iklan yang menghabiskan ongkos ratusan miliar itu dengan senyum dan laku yang dibuat seolah sebagai pengayom, mereka para "tokoh" itu sebetulnya hanya hendak menelikung kepentingan, agar rakyat tidak bisa membedakan antara seorang badut dengan seorang penipu.

Celakanya dalam setahun ke depan hingga habis masa Pemilu 2009, penampilan para penipu dan badut itu akan semakin kerap menyinggahi ruang publik, melalui siaran televisi dan radio, dicetak di koran, majalah, spanduk dan baliho lalu menyelinap seolah teror ke ruang keluarga, di banyak rumah warga Indonesia.

Senin, Agustus 11, 2008

HOUSE OF SAMPOERNA

Saksi Sukses Perusahaan Rokok Sampoerna


Berdiri di atas tanah seluas lebih dari 1 hektare, bangunan yang sudah ada sejak tahun 1858 yang terletak di daerah Kebalen awalnya merupakan rumah yatim piatu pada jaman penjajahan Belanda. Pada bangunan inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya sebuah perusahaan rokok besar yang ternama SAMPOERNA yang sampai saat ini sebagian proses produksi rokok SAMPOERNA juga masih dilakukan di sini disamping dua lokal pabrik lainnya yang terletak di daerah Rungkut-Surabaya dan di Kabupaten Pasuruan.

Perusahaan rokok SAMPOERNA didirikan oleh pendiri pertama yang bernama Liem Seeng Tee yang sejak usia 11 tahun meninggalkan keluarga angkatnya di Bojonegoro. Kemudian anak yatim piatu ini bekerja dengan berjualan di atas kereta api. Menjalani hidup dengan menggelandang ia menjajakan makanan yang dibawa dengan sarungnya kepada penumpang kereta api kelas bawah dalam perjalanan antara Jakarta dan Surabaya.
Liem Seeng Tee muda melewatkan waktu 18 bulan melompat keluar masuk ke dalam gerbong-gerbong kereta api yang sedang berjalan di malam buta, dengan seluruh barang dagangan miliknya yang terikat pada punggungnya dalam lapik kanvas untuk tidur. Ketika tabungannya telah cukup untuk membeli sepeda bekas, ia memulai usaha baru dengan menjajakan arang di jalanan kota Surabaya.
Setelah lelah berjualan arang, kemudian Liem Seeng Tee mendirikan warung untuk berjualan beberapa hasil bumi seperti kacang tanah, kacang hijau, berbagai buah-buahan dan beberapa barang dagangan lainnya.

Melalui proses coba-coba kemudian Liem Seeng Tee mencoba membuat rokok sekitar tahun 1913 yang kemudian berkembang menjadi perusahaan rokok pada tahun 1930.

Untuk mengabadikan perjalan hidup dalam menjalankan usahanya, maka perusahaan rokok SAMPOERNA membangun sebuah museum yang didalamnya terdapat barang-barang berharga milik keluarga besar pendiri perusahaan rokok SAMPOERNA, puluhan lukisan dan foto bersejarah dan barang-barang lain yang berkaitan langsung dengan kehidupan usaha perusahaan ini.

Di dekat museum juga berdiri café yang menyediakan makanan dan minuman serta pernak-pernik yang berkaitan langsung dengan rokok SAMPOERNA.
Museum ini dibuka untuk umum dan buka sampai dengan pukul 22.00 WIB dan disediakan pula pemandu untuk menyertai kunjungan kita dan menerangkan segala sesuatunya dengan baik dan ramah.