Jumat, Juni 20, 2008

Pekalongan [memang] Kota Batik

Kota Batik di Pekalongan
Bukan Jogja bukan Solo

[SBY (Sosial Betawi Yoi), by SLANK]


Potongan lirik lagu dari SLANK di atas ternyata telah menjawab pertanyaan saya tentang Pekalongan yang dikenal dengan sebutan Kota Batik. Sebagai kota yang dikenal memproduksi banyak batik, maka produk batik-nya tersebar ke seluruh daerah bahkan sampai Jogja dan Solo.

Terbukti ketika saya berada di Jogja awal minggu ini, saya menemukan batik-batik Pekalongan banyak dijual di Pasar Bringharjo. Setiap saya melihat label merek ternyata kebanyakan batik yang dijual adalah produksi Pekalongan.

Hal ini juga terjadi ketika saya berada di pasar Klewer Solo yang juga banyak pedagang batik berjualan di sana. Ternyata saya juga menemukan banyak batik yang produksi Pekalongan dijual di pasar Klewer. Meskipun di Solo ada kampung Laweyan yang terkenal dengan kampung batik.

Meskipun secara budaya dan historis Jogja dan Solo juga memiliki kekayaan luhur batiknya, akan tetapi ternyata batik Pekalongan lebih 'menguasai' pasar. Hal ini menggambarkan bahwa industri batik Pekalongan masih eksis meskipun ada indikasi penurunan jumlah produsen batik di sana.

Menurut Sutrisno Bachir [Ketua Umum PAN] dalam sebuah kesempatan menyatakan, banyak produsen batik Pekalongan yang terpaksa tutup bukan karena mereka kekurangan modal atau kesulitan bahan produksi. Mereka terpaksa berhenti berproduksi hanya karena sudah tidak ada lagi yang mau meneruskan usaha batik tersebut.

Banyak pengusaha batik Pekalongan yang menyekolahkan anak-anak mereka ke luar kota bahkan sampai ke luar negeri. Ternyata setelah mereka selesai sekolah banyak dari mereka yang tidak mau meneruskan usaha orangtuanya dan memilih bekerja di bidang lain di luar daerah.

Semoga batik bisa tetap menjadi identitas bangsa Indonesia. Sebuah warisan luhur budaya yang harus dijaga dan dipelihara.

Kamis, Juni 19, 2008

Seminar di Jogja

Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku
Bersahabat
Penuh selaksa makna

[Yogyakarta, by KLA Project]


Sepotong bait lagu milik KLA Project sangat pantas untuk bisa melukiskan Jogja. Lima tahun yang lalu dan sekarang tidak jauh berbeda. Seorang penarik becak di Jogja sampai berkata pada saya, "Jogja dulu dan sekarang ya sama saja mas, cuma sekarang lebih banyak mobil. Macet...".

Suasana dan keramahan yang saya dapati ketika berada di Jogja memang tidak berubah. Tugas dari kantor mengharuskan saya datang pada seminar di sebuah PTN di Jogja. Sebuah kesempatan yang sayang kalau disia-siakan.

Berbekal e-mail balasan dari mas Butet [terima kasih mas Butet atas info Malioboro dan sekitarnya], saya kembali 'memberanikan diri' datang ke Jogja.

Dengan KA Sancaka Minggu pagi dari Surabaya, jam 12.40 saya sudah sampai di Stasiun Tugu dan langsung menuju penginapan di Jl. Dagen di seputaran Malioboro yang terkenal banyak hotel budget-nya.

Setelah check-in dan makan siang di depan penginapan saya langsung menuju Pasar Bringharjo. Sesuai dengan petunjuk mas Butet, kalau di Pasar Bringharjo yang ada adalah Gado-gado dan Ratengan di lantai 2.

Mungkin karena sudah terlalu sore, karena sebelum saya ke lantai 2 saya sibuk memilih-milih dan membeli beberapa potong batik buat oleh-oleh saya nggak berhasil menemukan Gado-gado dan Ratengan. Saya lupa kalau mas Butet juga merekomendasikan Soto Pithes di lantai 1 Pasar Bringharjo dan saya baru ingat waktu buka catatan sepulang dari seminar hari Senin.

Di depan toko Makmur Jaya saya juga tidak menemukan ibu penjual ayam panggang Klaten. Yang ada di sana cuma penjual Es Dawet dan Es Campur yang dikerubuti banyak orang.

Malam harinya saya berjalan ke arah Pasar Bringharjo dan menemukan penjual Onde-onde seperti yang dibilang mas Butet. Per bijinya dijual seharga Rp.1.250,- dan untuk rasanya hampir-hampir mirip dengan Onde-onde 'BO LIEM' Mojokerto.

Penasaran dengan Brongkos Koyor KOTIK saya iseng-iseng tanya dengan mbak yang jual voucher isi ulang pulsa arah daerah Gandekan dan ternyata mbak-nya tau kalo saya lagi cari Brongkos KOTIK. Sayangnya, menurut mbak-nya KOTIK nggak jualan kalo hari Minggu. Wah...gak bisa ngicipi telur kecapnya dong.

Satu lagi rekomendasi mas Butet yang belum bisa saya penuhi yaitu Gudeg Bu Joyo yang bukanya sekitar jam 11. Karena saya harus seminar besok paginya saya nggak berani 'klayapan' sampe jam 11 malam. Takut kesiangan...

Sekali lagi terima kasih mas Butet untuk 'pengarahan'-nya lain kali aku akan kembali ke Jogja. Pinginnya nerusin S-2 di Jogja sih...

PS: di Jl. Dagen ada toko yang jualan/produksi bakpia yang rasanya nyuuuusss...
Beda dengan bakpia lain dan kemasan kotaknya lebih OK karena gak pake angka-angka.

Jumat, Juni 06, 2008

Kecap dan Soto Jombang

Sekitar tahun 2001 di Sidoarjo mulai muncul pedagang soto asal Jombang dengan ciri khas di bagian depan tendanya bertuliskan 'SOTO DAGING Cabang JOMBANG' dan penjualnya selalu membanting botol kecap asin-nya ketika selesai menuangkannya ke dalam mangkuk soto yang sudah siap saji.

Mungkin dibeberapa tempat soto seperti ini dikenal dengan nama Soto Gebrak yang penjualnya tidak hanya dari Jombang tapi banyak juga dari daerah Lamongan.

Awalnya pedagang Soto Jombang ini berjualan di depan sebuah toko yang sudah tutup karena bangkrut dan kemudian harus pindah karena dia harus berurusan dengan Satpol PP dan menempati lahan di sebelah kantor KODIM 0816 Sidoarjo.
Beberapa lama berjualan di lahan itu, ternyata dia harus pindah lagi karena lahan tersebut ternyata sudah dijual dan akan dibangun ruko. Akhirnya dia menyewa halaman sebuah rumah di Jl. Dr. Tjipto Mangunkusumo sampai sekarang dan banyak dikunjungi oleh penikmat soto.

Soto Jombang ini juga memiliki 2 cabang yang masing-masing masih memiliki hubungan keluarga yakni di depan Perumahan Angkatan Laut Gedangan dan di Jalan Raya Buduran.

Soto dengan gagrak Jombang adalah soto daging berkuah kuning yang isinya tidak hanya daging, tetapi ada juga berbagai jenis jeroan seperti usus, limpa, babat dan lainnya. Selain itu mereka juga menyediakan berbagai macam jeroan yang sudah digoreng jika ada yang ingin menambahkannya kedalam mangkok sotonya.

Yang menarik, Soto Jombang ini selalu menyediakan dan memakai kecap Cap 2 Ikan Layur produksi Jombang meskipun mereka berjualan di luar daerah Jombang.

Selasa, Juni 03, 2008

Musik di Restoran

Ada pernyataan yang mengungkapkan bahwa sebuah restoran dengan sengaja memberi hiburan musik bagi pengunjungnya baik dengan live music atau dengan musik kaset/CD adalah tujuannya untuk menghibur pengunjung restoran tersebut sehingga mereka akan merasa nyaman untuk berlama-lama di restoran, sehingga dengan semakin lama pengunjung tadi betah di dalam restoran maka mereka akan memesan lebih banyak menu di restoran itu.

Ada juga yang berpendapat kalau restoran sengaja menyajikan hiburan musik untuk menghibur mereka yang sudah membayar bill dan kaget melihat angka yang tercetak di bill tadi.

Banyak orang yang senang dengan musik yang mendayu di telinga ketika mereka bersantap di restoran, tetapi tidak sedikit pula orang yang menyukai musik hingar bingar sebagai teman mereka.

Semua tergantung selera...

Maksud pemilik restoran yang memberikan layanan lebih dengan memberikan hiburan 'live music' terkadang tak seiring dan sejalan dengan kemauan pengunjung.

Seperti yang terjadi dengan saya dan beberapa teman yang menyambut seorang teman yang 'pindah kembali' ke Surabaya di sebuah restoran bernuansa tamandi daerah Jemur Handayani. Karena sudah lama tidak saling bertemu maka kami banyak bercerita satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini agak sedikit terganggu dengan hiburan 'live music' orgen tunggal yang diberikan oleh restoran yang sering memaksa kami untuk meninggikan volume bicara kami ketika musik dimainkan. Kami sedikit merasa lega ketika sudah mencapai jeda lagu sehingga kami tidak harus 'berteriak-teriak'.

Sampai-sampai kami harus meneruskan obrolan kami di tempat parkir sebelum kami pulang.